Penampakan Proyek Reklamasi yang Sempat Dilihat Jokowi dari Udara
Penampakan terbaru Pulau G (Foto: Agus Suparto/Istana Kepresidenan)
Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan
Komisi IV DPR sepakat untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk
Jakarta. Sudah sejauh mana proyek pembentukan pulau-pulau baru di utara
Jakarta itu?
Agus Suparto, fotografer Istana Kepresidenan yang
melintas di atas proyek reklamasi bersama Presiden Joko Widodo,
mengabadikan perkembangan terkini dari proyek yang ingin terus
dilanjutkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) itu. Foto
diambil saat rombongan akan menuju ke Pulau Karya di Kepulauan Seribu,
Kamis (14/4/2016) hari ini.
Penampakan terbaru Pulau G (Foto: Agus Suparto/Istana Kepresidenan)
|
Di
atas Pulau G, terlihat beragam alat berat yang digunakan untuk
melakukan pengerukan. Ada pula puluhan paku bumi dan rumah-rumah
sementara dari kontainer yang digunakan sebagai tempat tinggal para
pekerja. Pulau G sendiri jika telah selesai dibentuk akan memiliki luas
161 Ha.
Penampakan terbaru Pulau G (Foto: Agus Suparto/Istana Kepresidenan)
|
Sementara
itu Pulau D yang akan memiliki luas 312 Ha tampak sudah lebih maju
pengerjaannya. Telah ada pula jembatan penghubung antara Pulau D dengan
daratan Jakarta Utara.
Penampakan terbaru Pulau D (Foto: Agus Suparto/Istana Kepresidenan)
|
Sebelum
dihentikan, proyek reklamasi sedianya akan membentuk 16 pulau baru.
Pulau-pulau tersebut akan memiliki luas yang berbeda-beda mulai dari
yang terkecil Pulau K yaitu 32 Ha, hingga yang terluas yaitu Pulau M 587
Ha.
sumber : http://news.detik.com/berita/3188359/penampakan-proyek-reklamasi-yang-sempat-dilihat-jokowi-dari-udara
Reklamasi
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menaruh
curiga terhadap aksi penolakan terhadap
proyek reklamasi Teluk Jakarta dewasa ini. Ia
mempertanyakan kenapa protes terhadap reklamasi tidak dilakukan sejak dulu.
"Justru saya mulai curiga ada yang swasta mau ribut. Mau minta duit atau
apa ini?" kata Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta,
Senin (11/4/2016).
Ahok memberi contoh Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang juga melakukan
reklamasi pada waktu-waktu sebelumnya. Ada Pulau N yang dibangun perusahaan
pengembang PT Pelindo. Rencananya, Pulau N akan jadi New Tanjung Priok.
"Kenapa enggak gugat-gugat dari dulu. Itu Pulau N New Tanjung Priok sudah
jadi. Kenapa enggak ribut?" kata Ahok.
Selain itu, ada Marunda Center yang reklamasinya bahkan sampai menempel ke
daratan Jakarta. Berdasarkan Keppres yang dikeluarkan pada era Presiden Soeharto,
membuat pulau reklamasi sampai menempel ke daratan itu tidak boleh dilakukan,
karena berisiko membikin banjir di Jakarta.
"Bekasi, Marunda Center, sudah menguruk menempel ke darat. Lu (Anda)
kenapa enggak ribut?" kata Ahok.
http://news.detik.com/berita/3184688/curiga-terhadap-penolak-reklamasi-ahok-mau-minta-duit
Suara warga Jakarta tolak reklamasi, tak manfaat buat rakyat kecil
Reporter
:
Supriatin
| Minggu, 10 April 2016 13:43
Peta Reklamasi Jakarta. ©2016 Merdeka.com
Merdeka.com - Reklamasi 17 pulau di Teluk
Jakarta belakangan ramai
diperbincangkan. Polemik mulai muncul setelah KPK menetapkan Ketua Komisi D
DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro
Ariesman Widjaja sebagai tersangka kasus suap dalam pembahasan raperda zonasi
tentang reklamasi.
Reklamasi teluk Jakarta dinilai mengabaikan keresahan masyarakat dalam hal ini
para nelayan. Tidak hanya itu, aspek lingkungan juga disebut-sebut akan
berdampak secara signifikan jika reklamasi dilakukan.
Bagaimana tanggapan warga Jakarta atas rencana reklamasi 17 pulau di Teluk
Jakarta?
Mansur, salah satu warga Jakarta menolak reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.
Menurutnya reklamasi hanya menyengsarakan golongan kecil bahkan menambah
masalah baru.
"Reklamasi itu hanya menguntungkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya
seperti perusahaan yang bersedia menjadi kontraktor," kata Mansur saat
berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Minggu (10/4).
Mengenai rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 serta Raperda
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, kata Mansur,
tidak perlu dilanjutkan. Dia meminta pemerintah DKI hanya mengacu pada Perda
turunan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara
Jakarta.
"Tidak usah direvisi Perdanya, kita mengacu pada Undang-Undang Tata Ruang
yang sudah ada. Kalaupun diubah, toh ujung-ujungnya akan menimbulkan dilema
yang nantinya para elite justru melegalkan proyek reklamasi tersebut,"
ujarnya.
"Semakin banyak perdebatan semakin meluas peluang untuk para elite
melakukan tindakan
korupsi.
Negara kita ini sudah berada pada sistem yang down (lemah)," tambahnya.
Senada dengan Mansur, Galang juga menolak reklamasi Teluk
Jakarta. Dia menegaskan, pemerintah harus bersikap bijak dalam melihat kondisi
masyarakat kecil.
"Yang dirugikan masyarakat kecil. Saya tidak mau ada reklamasi,"
tukasnya.
Sumber :
http://www.merdeka.com/jakarta/suara-warga-jakarta-tolak-reklamasi-tak-manfaat-buat-rakyat-kecil.html
Soal Reklamasi Teluk Jakarta, Berikut Tanggapan Kementerian Lingkungan
Peta reklamasi Teluk Jakarta
Reklamasi Teluk Jakarta sejak awal sudah menuai banyak kritikan terutama
dari nelayan dan pegiat lingkungan. Proyek reklamasi yang akan menciptakan 17
pulau baru atau lahan tambahan sekitar 5.200 hektar ini dinilai bakal bikin
susah nelayan dan berpotensi memunculkan beragam masalah lingkungan.
Kini, isu ini menjadi salah satu topik yang ramai dibicarakan termasuk di
sosial media media
pasca anggota DPRD Jakarta, Sanusi, tertangkap KPK
terkait kasus dugaan suap pembahasan rencana peraturan daerah reklamasi ini.
Sejak awal beberapa aturan terkait menjadi sorotan dari soal perizinan, analisis mengenai
dampak lingkungan (Amdal), sampai izin lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutananpun angkat bicara.
San Avri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan mengatakan, proyek
reklamasi Teluk Jakarta, menggunakan Amdal tunggal alias per pulau. KLHK
menilai, sebaiknya proyek ini menggunakan Amdal regional yang mengkaji wilayah
sebagai satu ekosistem, terlebih melibatkan provinsi lain, seperti Banten dan
Jawa Barat.”Menurut kami, sebaiknya Amdal regional bukan Amdal tunggal,”
katanya di Jakarta, Kamis (7/4/16).
Dari rencana 17 pulau buatan di Teluk Jakarta, baru empat memiliki Amdal.
Izin lingkungan juga sudah keluar. Semua izin-izin ini dikeluarkan Badan
Lingkungan Hidup Daerah Jakarta (BLHD).
Penyusunan Amdal satu per satu pulau ini, katanya, menyebabkan sulit melihat
dampak secara keseluruhan. ”Kalau main di Amdal tunggal, itu sulit. Satu Amdal
hanya bicara pulau itu saja.”
KLHK, katanya, melakukan analisis dampak komulatif yang akan berpotensi
muncul kala pakai Amdal tunggal, misal, terkait dampak sedimentasi dari 13
sungai, sampai kabel laut (PLTU Muara Karang), maupun sumber air bersih. “Ini
persoalan
kalo gak pakai Amdal regional.”
Dia mencontohkan, PT Kapuk Naga Indah, akan mengerjakan tiga pulau. KLHK
mencatat ada banyak persoalan, seperti limpasan sedimentasi, sampai
back
water. “Sedimentasi pengaruhi sentra-sentra perikanan Teluk Jakarta, akan
terjadi penurunan kualitas air secara umum di sepanjang perairan pantai dan
reklamasi. Kita sudah petakan.”
Nelayan Teluk Jakarta, salah satu yang bakal terdampak
kala reklamasi terlaksana. Apakah pemerintah sudah menjamin kehidupan mereka
tak akan terganggu kala reklamasi ada? Foto: Sapariah Saturi
Meskipun begitu, kata Awang, Amdal tunggal tak menyalahi aturan tetapi yang
menjadi masalah dampak komulatif itu. “Jadi sebaiknya (Amdal) regional.”
Dia mengusulkan, bahasan reklamasi Teluk Jakarta termasuk Amdal ini
dikaitkan langsung dengan program National Capital Intergrated Coastal
Development (NCICD) atau tanggul raksasa lepas pantai (
giant sea wall).
Hingga bisa melihat secara utuh.
“Kalau ini, saya rasa, KLHK akan mulai lagi dari awal. Sekaligus lihat
ekosistem. Kekurangan-kekurangan buka lagi dan lihat mana yang paling baik,
termasuk nelayan.”
Mengenai dampak lingkungan, sosial, ekonomi terhadap nelayan, katanya,
seharusnya ada detil dalam rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan (RKL/RPL).
“Apakah persoalan nelayan ditulis baik dalam RPL/RKL. KLHK akan cek itu.
Posisi kami lihat Amdal, lihat metode benar atau
gak? Kami punya
pendapat akan berikan pada BLHD. Kita beritahu. Tugas BLHD, memakai masukan
KLHK buat memantau. Koordinasi dengan BLHD Jakarta bagus,” katanya.
Dokumen RPL/RPL ini dinamis. “Jika ada sesuatu berubah, ubah RLK/RPL.”
Pintu masuk
Ilyas Asaad, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan,
KLHK bisa masuk menghentikan proyek pembangunan jika ada terjadi pelanggaran
serius. “Tindakan melanggar hukum yang sebabkan pencemaran lingkungan hidup dan
timbulkan keresahan masyarakat,” katanya. Hal ini, termaktub dalam Padal 73 UU
UU Nomor 32 Tahun 2009.
Soal penolakan pemerintah pusat terhadap proyek reklamasi Jakarta ini pernah
terjadi pada awal 2000-an. Pada 2003, kata Ilyas, Kementerian Lingkungan Hidup
menolak reklamasi Teluk Jakarta dengan beberapa pertimbangan, antara lain,
reklamasi mengancam keragamanhayati, asal tanah reklamasi tak jelas (kala itu,
pemerintah Jakarta tak bisa menjelaskan asal tanah dari mana). Lalu, ada PLTU,
bagaimana desain penanganan masalah air (tak ada jawaban darimana asal air
tawar), dan reklamasi bisa perluas banjir Kakarta. Kala itu, rencana reklamasi
sepanjang 30 km x 1 km.
Penolakan ini muncul dengan keluar Keputusan Menteri (Kepmen) No 14/2003
yang menilai rencana reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara tak layak. Para
pengembang beraksi dengan mengajukan gugatan hukum. Pada pengadilan tingkat
pertama dan tinggi, para pengembang menang. KLH kasasi dan menang pada 2009.
Reklamasi Teluk Jakarta, tak layak.
Pengembang mengajukan peninjauan kembali (PK). “Pada 2011 putusan Mahkamah
Agung berbalik. PK mereka diterima. (Putusan MA), yang menetapkan penghentian
reklamasi bukan menteri harus presiden. Kita kalah.”
Alhasil, reklamasi kembali jalan. “Setelah 2011, mulai diteruskan izin oleh
(Gubernur) Fauzi Bowo. Ini di luar kontrol Lingkungan Hidup,” katanya.
Sumber :
https://www.mongabay.co.id/2016/04/08/soal-reklamasi-teluk-jakarta-berikut-tanggapan-kementerian-lingkungan/
Reklamasi Teluk Jakarta
Proyek reklamasi Teluk Jakarta kian menjadi sorotan
publik. Kontroversi pun semakin menjadi usai ditangkapnya Ketua Komisi V DPRD
DKI Jakarta Muhammad Sanusi yang sedang disuap oleh utusan Agung Podomoro Land.
Praktik haram itu diduga terkait dengan penyusunan rancangan Perda Reklamasi
yang sedang disusun DPRD DKI Jakarta.
Lalu, bagaimana sebenarnya reklamasi Teluk Jakarta bermula?
Berikut kronologi reklamasi Teluk Jakarta yang ditulis dariPendahuluan Kertas Posisi Koalisi Selamatkan
Teluk Jakarta Penolakan Terhadap Proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang
bersumber dari laman resmi LBH Jakarta.
Teluk Jakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara
Jakarta, berada di sebelah utara Jakarta. Salah satu kawasan perairan di
Jakarta ini secara geografis di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir,
sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di sebelah utara
berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi
sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang
berhulu di Bogor.
Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan
hasil lautnya berupa hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang.
Perairan Teluk Jakarta menjadi salah satu pemasok ikan dan hewan lainnya di
Jakarta.
Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi
masyarakat di pesisir Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan.
Perkampungan nelayan sudah berdiri lama dan kehidupan mereka bergantung pada
laut di Teluk Jakarta. Teluk Jakarta juga menjadi habitat bagi burung laut
Cikalang Christmas. Bahkan, Teluk Jakarta pernah diusulkan untuk menjadi cagar
alam karena menjadi habitat bagi burung laut Cikalang Christmas.
Pada tahun 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek Reklamasi Teluk
Jakarta dengan dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi
Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli
1995.
Keppres tersebut menetapkan Reklamasi Pantura sebagai
satu-satunya jalan upaya penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai
untuk mewujudkan Kawasan Pantai Utara sebagai Kawasan Andalan. Kawasan andalan
diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai strategis dipandang dari sudut
ekonomi dan perkembangan kota.
Sumber : http://irnarrahayu.blogspot.co.id/2016/04/reklamasi-teluk-jakarta.html
Pada tahun 2003, Menteri
Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan No. 14 Tahun 2003 tentang
Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta
pada 19 Februari 2003. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa hasil studi
AMDAL menunjukkan kegiatan reklamasi akan menimbulkan berbagai dampak
lingkungan.
Namun, Surat Keputusan tersebut
kemudian digugat oleh 6 perusahaan pengembang yang telah melakukan kerjasama
dengan Badan Pengelola Pantai Utara untuk melakukan reklamasi Pantura Jakarta.
Perusahaan tersebut antara lain PT. Bakti Bangun Era Mulia, PT. Taman Harapan
Indah, PT. Manggala Krida Yudha, PT. Pelabuhan Indonesia II, PT. Pembangunan
Jaya Ancol dan PT. Jakarta Propertindo.
Gugatan tersebut
mempermasalahkan dua hal pokok terhadap SK Menteri LH No. 14 Tahun 2003 yaitu
Kewenangan Menteri LH menerbitkan keputusan ketidaklayakan lingkungan rencana
reklamasi pantura jakarta dan kewenangan Menteri LH untuk mewajibkan instansi
yang berwenang untuk tidak menerbitkan izin pelaksanaan Reklamasi
Pantura.
Dalam persidangan di PTUN
tingkat pertama dan kedua, Majelis Hakim mengabulkan gugatan para pengusaha
(Penggugat).Dalam tingkat kasasi, Majelis Hakim berhasil memenangkan Menteri LH
dan Penggugat Intervensi lainnya.Namun di tingkat peninjauan kembali, Mahkamah
Agung kembali memenangkan para pengusaha dan mencabut putusan kasasi. Putusan
PK menyatakan dicabutnya status hukum keberlakuan SK Menteri LH No. 14 Tahun
2003 sehingga proyek reklamasi tetap dilanjutkan.
Pada tahun 2008 muncul
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (masa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono). Perpres No. 54 Tahun 2008 ini mencabut Kepres No. 52 Tahun 1995 dan
Keppres No. 73 Tahun 1995 soal reklamasi namun sepanjang yang terkait dengan
penataan ruang.
Kemudian pada tahun 2012 (masa Gubernur Fauzi Bowo/Foke), DPRD
Jakarta mengesahkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah 2030 (Perda No. 1 Tahun 2012) yang menggantikan Perda No. 6 Tahun
1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang
habis masa berlakunya tahun 2010.
Dalam Perda ini, ditetapkan
jika Kawasan Tengah Pantura akan dijadikan lokasi program pengembangan baru di
DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Kawasan Tengah Pantura dijadikan sebagai
kawasan Pusat Kegiatan Primer yang berfungsi melayani kegiatan berskala
internasional, nasional atau beberapa provinsi. Kawasan Tengah Pantura akan
menjadi pusat niaga baru di bidang perdagangan, jasa, MICE (Meeting,
Incentives, Convention, Exhibition), dan lembaga keuangan.
Pada tahun 2015 (masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok),
pembangunan di Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin
reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau
yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.